Referensi Materi Hak Asasi Manusia by Anan Z.A.
Soal 1:
Jelaskan bagaimana mekanisme dalam penegakkan HAM di Negara kita
sehinggga semua warganegara betul-betul merasakan ada jaminan atas HAM.
Jawab
Untuk terselenggaranya mekanisme yang baik dalam penegakkan HAM,
perlu tiga syarat:
1. Adanya peraturan yang memberikan
jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia agar mendapat kepastian hukum.
Jaminan ini antara lain:
a. Pancasila menjamin HAM, terutama sila kedua
b. Pembukaan UUD 1945 dalam alinea keempat berupan
1) Di dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945,
dinyatakan bahwa "kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa".
2) Dalam alinea kedua, dirumuskan salah satu tujuan
kemerdekaan negara kita, yaitu "mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, dan m.akmur". Ini adalah pengakuan hak asasi sosial yang berupa
keadilan dan pengakuan hak asasi ekonomi yang berupa kemakmuran dan
kesejahteraan.
3) Alinea ketiga merupakan pernyataan kemerdekaan
bangsa Indonesia, yakni "Atas berkat rahmat Allah Yang MahaKuasa. Ini,
adalah penegasan bahwa kemerdekaan adalah kodrat yang dianugerahkan Tuhan Yang
Maha Esa kepada semua bangsa, termasuk bangsa Indonesia".
4) Alinea keempat, dijelaskan tujuan negara
Indonesia dan dasar negara Indonesia,
c. Amandemen UUD 1945 ke dua, ada titel Bab yang
secara eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia, yaitu Bab XA yang
berisikan pasal 28A s/d 28J (perubahan pasal 28) meliputi: hak untuk hidup, hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak wanita, dan hak anak.
d. UU NO. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang secara garis besar sama dengan yang ada pada UUD 1945. Justru ketika UUD
1945 dibuat UU ini sudah lebih dulu ada.
e. Peraturan HAM lainnya, antara lain:
1) Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang
ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan.
2) Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the
Child).
3) Majlis Umum PBB dalam sidangnya yang ke 44 pada
bulan Desember 1989 telah berhasil menyepakati sebuah Resolusi yakni Resolusi
MU PBB No. 44/25 tanggal 5 desember 1989 tentang Convention on the Rights of
the Child.
2.
Adanya
alat Negara yang dibentuk untuk penegakkan HAM
a. KOMNAS HAM.
Komisi Nasional (Komnas)
HAM pada awalnya dibentuk dengan Kepres No. 50 Tahun 1993 sebagai respon
(jawaban) terhadap tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional
perlunya penegakan HAM di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI No. 39 Tahun
1999 tentang HAM, yang didalamnya mengatur tentang Komnas HAM ( Bab VIII, pasal
75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan Kepres tersebut harus
menyesuaikan dengan UURI No.39 Tahun 1999. Tujuan Komnas HAM "untuk
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan
Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia". Selain itu,
"meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi
manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai
bidang kehidupan".
Mekanisme penegakkan HAM
sesuai kewenangan KOMNAS HAM, adalah sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang mengetahui atau memiliki
alasan kuat bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi atau hak asasinya telah
dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis kepada
Komnas HAM. Pengaduan tersebut hanya akan dilayani apabila disertai identitas
pengadu dan bukti awal yang jelas mengenai materi yang diadukan itu.
(2) Apabila pengaduan dilakukan oleh pihak lain,
pengaduan tersebut terlebih dahulu mendapat persetujuan orang yang dirugikan
atau yang berkepentingan, kecuali pelanggaran HAM tertentu berdasarkan
pertimbangan Komnas HAM. Pengaduan pelanggaran HAM sebagaima dimaksud, meliputi
pengaduan melalui perwakilan mengenai pelariggaran HAM yang dialami oleh
kelompok masyarakat.
(3) Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM,
tidak dilakukan dan dihentikan apabila:
a) tidak memiliki bukti awal yang memadai;
b) materi pengaduan bukan masalah pelanggaran HAM;
c) pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau
temyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;
d) terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi
penyelesaian materi pengaduan;
e) sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya
hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak
melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud, diatur dalam
peraturan tata tertib Komnas HAM. Dalam melakukan pemeriksaan atau penyelidikan
terhadap laporan atau pengaduan pelanggaran HAM dalam hal tertentu dan bila
dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan
atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat
menetapkan untuk merahasiakan indentitas pengadu atau pelapor serta pihak yang
terkait dengan materi pengaduan dan laporan. Komnas HAM juga dapat menetapkan
untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti
lain yang diperoleh Komnas HAM yang berkaitan dengan materi pengaduan atau
pemantauan.
(5) Dalam rangka mencari kejelasan tentang adanya
pelanggaran HAM, pemeriksaan atas pelanggaran tersebut harus dilakukan secara
tertutup. Oleh karena itu, bagi pengadu, korban, dan saksi atau pihak lainnya yang
terkait, apabila dipanggil oleh Komnas HAM wajib memenuhi permintaan/panggilan
tersebut. Apabila kewajiban tersebut dilalaikan atau menolak memberikan
keterangan, Komnas HAM dapat meminta bantuan ketua pengadilan untuk pemenuhan
panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Melakukan pemeriksaan atas pelanggaran HAM, Komnas HAM
menunjuk/membentuk tim sebagai mediator. Tugas mediator selain mengadakan
pemeriksaan, juga mencari penyelesaian secara damai, berupa kesepakatan antara
pihak-pihak yang bersengketa yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
ditandatangani oleh para pihak serta dikukuhkan oleh mediator yang telah
ditunjuk. Apabila kesepakatan tersebut telah tercapai, keputusan itu akan
mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.
(7) Dalam hal keputusan tidak dilaksanakan oleh
salah satu pihak dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam keputusan yang
telah dibuat, pihak lainnya dapat meminta kepada pengadilan negeri setempat
agar keputusan yang telah disepakati, dinyatakan dapat dilaksanakan dengan
membubuhkan kalimat: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa". Atas permohonan ini, pengadilan harus mengabulkan atau tidak dapat
menolaknya.
(8) Dalam rangka melaksanakan kewajibannya atau
tugas-tugasnya, Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya serta kondisi HAM serta
perkara-perkara yang ditanganinya kepada DPR dan presiden dengan tembusan
kepada Mahkamah Agung.
b. KOMISI NASIONAL ANTI
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Kepres No. 181 Tahun 1998.
Dasar pertimbangan pembentukan Komisi Nasional ini sebagai upaya mencegah
terjadinya dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
c. LSM PRODEMOKRASI DAN HAM
Di samping lembaga
penegakkan HAM yang dibentuk oleh pemerintah, masyarakat pun mendirikan
berbagai lembaga HAM. Lembaga HAM bentukan masyarakat terutama dalam bentuk LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (Non Governmental Organization) yang
programnya berfokus pada demokratisasi dan pengembangan HAM (LSM Prodemokrasi
dan HAM ). Yang termasuk LSM ini antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia), Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan), Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat).
d. PENGADILAN HAM
Undang-Undang No. 26 tahun
2000 menjelaskan tentang pengadilan HAM sebagai berikut: Pengadilan HAM adalah
"pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat".
3.
Adanya
kesadaran masyarakat dalam menaati HAM
Soal 2:
Berikan beberapa contoh kasus yang sehubungan dengan pelanggaran
HAM dan bagaimana penyelesaiannya
Jawab
Contoh kasus: Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak
atas kesehatan. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah,
polio, serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk,
kelaparan, dan busung lapar.
Tahun 2005 merupakan tahun yang
memprihatinkan bagi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat khususnya hak atas
kesehatan. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio,
serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk,
kelaparan, dan busung lapar.
· Kasus-kasus
penyakit yang berkaitan dengan gizi ini, meskipun secara kuantitas banyak
terjadi di wilayah Indonesia Barat. Namun secara kualitas, apabila
diperbandingkan dengan prosentase jumlah penduduk di masing-masing wilayah,
prevalensi kasus yang terjadi diwilayah timur Indonesia, seperti Papua, Nusa
Tenggara, dan Sulawesi lebih tinggi disbanding di wilayah lain. Wilayah ini pada
umumnya memiliki infra struktur yang sangat minim, tingkat kesejahteraan yang
rendah serta jumlah prosentasi keluarga miskin diatas 30%.[1]
· Kasus
busung lapar yang dilaporkan di wilayah Indonesia bagian timur terutama menimpa
wilayah dimana prosentase produksi beras dibandingkan dengan kebutuhan pangan
tidak memadai, seperti di wilayah Gorontalo ( 1022 kasus), Papua (1155 kasus).
Selain itu tingginya prevalensi busung lapar juga berkaitan dengan tingginya
prosentase keluarga miskin, seperti di wilayah NTT yang prosentase keluarga
miskinnya mencapai lebih dari 60% sementara kemampuan produksi pangan (beras)
juga rendah dibandingkan dengan tingkat kebutuhan pangan di wilayah ini[2].
· Hasil
amatan ELSAM atas laporan kasus berkaitan dengan gizi dari pemberitaan 7 media
masa sepanjang tahun 2005 mencatat sekurangnya sebanyak 1 091 474 orang
bermasalah dengan gizi, yang tersebar di 73 kabupaten di seluruh nusantara.
Sebaran kasus ini beragam mulai dari kurang gizi, gizi buruk sampai busung
lapar. Dari total kasus yang terekam oleh media sepanjang tahun, tercatat
beberapa kasus yang berakhir dengan kematian. Sekurangnya 61 orang meninggal
dunia dalam berbagai kasus yang tersebar di sekurangnya 73 kabupaten, dengan
prevalensi kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur.
Penyebaran Gizi Buruk
dan Busung Lapar di Propinsi-Propinsi Non Konflik
Wilayah
|
Angka Balita di bawah lima tahun.
|
Penderita Kurang Gizi
|
Penderita Gizi Buruk
|
Penderita Busung Lapar.
|
Korban Meninggal
|
Penyebaran Di Tingkat
Kabupaten/Kota
|
Jumlah Kabupaten
|
NTT
|
55.543
|
85.604
|
12.925
|
451
|
50
|
16 Kabupaten:
Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Kupang
|
16
|
NTB
|
|
|
910
|
847
|
21
|
Lombok Timur, Lombok Barat, Dompu, Lombok Tengah, Mataram
|
4
|
JTG
|
367
|
|
13.376
|
34
|
26
|
Tegal, Semarang, Kota Semarang, Rembang, Boyolali, Banyumas,
Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan Pekalongan
|
12
|
JBR
|
148.120
|
61.805
|
18.136
|
140
|
1
|
Cirebon, Cianjur, Bogor, Indramayu, Cibinong, Karawang, Bandung
|
7
|
Banten
|
|
14.338
|
7.454
|
175
|
13
|
Lebak,
Serang, Tangerang
|
3
|
SMU
|
2928
|
|
643
|
4
|
|
Gunungsitoli
(P.Nias)
|
1
|
JTM
|
5
|
1.700
|
6.000
|
37
|
1
|
Kota Surabaya, Kediri, Situbondo, Bangkalan, Wonogiri, Ponorogo, Lamongan,
Blitar, Bondowoso
|
10
|
LPG
|
|
287
|
176
|
|
2
|
Tanggamus
|
1
|
RIAU
|
567.545
|
|
11.000
|
12
|
2
|
Bengkalis
|
1
|
SMS
|
|
1.638
|
|
|
|
|
|
SLS
|
144.075
|
|
59
|
|
|
Kota Makasar, Takalar , Makassar, Pinrang, Maros, Lutra, Selayar, Gowa, Bone, Luwu,
Soppeng, Pangkep, Wajo, Rejang Lebong dan Parepare
|
15
|
DIY
|
220.006
|
|
1000
|
|
|
Bantul, Yogyakarta, Sleman, Kodya, Kulonprogo,
Gunungkidul
|
6
|
KLB
|
|
|
105
|
|
|
Sambas
|
1
|
DKI Jakarta
|
8.007
|
8.579
|
1.355
|
|
|
Koja-Jakut, Jakarta Barat, Jakpus
|
3
|
JBI
|
|
|
272
|
|
|
Tanjung Jabung Timur, Tanjung
Jabung Barat Batanghari,
|
6
|
BKL
|
|
|
233
|
5
|
|
|
|
KLTG
|
72
|
|
|
|
7
|
Sukamara,
Kotawaringin Timur, Kapuas, Barito
Timur, Kota Palangkaraya
|
5
|
SLTG
|
1
|
|
|
|
|
Kendari
|
1
|
Jumlah seluruh
|
1.146.669
|
173.951
|
73.644
|
1.705
|
123
|
|
93
|
Apabila data ini mendekati kebenaran, setidaknya separuh
dari total populasi Indonesia bermasalah dengan gizi. Dengan
demikian, berbagai pemberitaan mengenai busung lapar ataupun kurang gizi lebih
merupakan puncak gunung es dari persoalan hak atas kesehatan yang sejauh ini
seperti tersembunyi di bawah permukaan.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan gizi buruk terjadi
di wilayah yang memiliki karakteristik yang mirip,
yaitu, secara umum, daerah dengan prevalensi masalah gizi memiliki tingkat
kesejahteraan yang rendah.[3] Karakteristik
lain berupa tingginya tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, serta
tingginya prosentase aktivitas ekonomi di bidang pertanian. Kabupaten
Timor Timur Selatan, propinsi NTT misalnya, persentase kegiatan ekonominya
digantungkan pada sektor pertanian[4].
Daerah Bantul, di Jawa yang mewakili prevalensi tertinggi kasus-kasus gizi
buruk memiliki karakteristik yang serupa. Dengan
prosentase kegiatan ekonomi terbesar di sektor pertanian, kabupaten Bantul baru
mampu membiayai 6% dari total anggaran pembelanjaan daerahnya. Tingkat
ketergantungan pada pusat ditunjukkan dengan besarnya nilai dana alokasi umum
yang dikucurkan, yang mencapai lebih dari 70% total anggaran daerah yang
dibutuhkan.[5]
Solusi
Beberapa langkah jangka pendek dan respon cepat dilakukan
oleh pemerintah melalui koordinasi interdepartemen. Namun langkah-langkah
tersebut lebih bersifar kuratif, seperti dalam menghadapi penetapan wabah flu
burung sebagai kondisi luar biasa. Tindakan lain berupa pembentukan tim operasi
sadar gizi untuk merespon naiknya angka penderita gizi buruk di NTB, penerapan
sistem kewaspadaan dini, perawatan kasus gizi buruk di Puskesmas dan rumah
sakit, serta penyediaan sarana dasar seperti bantuan pangan dan penyediaan air
bersih.[6] Langkah
ini diikuti oleh peningkatan alokasi pendanaan untuk perbaikan gizi masyarakat
dengan proyeksi kenaikan lebih dari 10kali lipat untuk tahun anggaran 2006.[7]
Kasus Pelanggaran HAM
· Pertama, kasus Marsinah . Kasus ini berawal dari
unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada tanggal 3-4 Mei 1993.
Aksi ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK
yang menimpa kawan-kawannya Pada 5 Mei 1993 Marsinah `menghilang', dan akhirnya
pada 9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di
hutan Wilangan Nganjuk. Perkembangan pengusutan kasus ini menghasilkan
keterlibatan 6 anggota TNI-AD dari kesatuan Danintel Kodam, Kopassus, 20 Polri
serta I orang Kejaksaan. Namun perlakuan Kodim tidak berhenti pada PHK 13 orang
dan matinya Marsinah, karena pada tanggal 7 Mei 1993 masih ada 8 orang buruh
PT.CPS di PHK oleh Kodim di markas Kodim.
· Kedua, Kasus Universitas Muslim
Indonesia (UMI), Ujung Pandang, 26 April 1996. Awal dari kerusuhan tersebut
bermula pada aksi unjuk rasa mahasiswa UMI terhadap kenaikan tarif angkutan
kota (Pete pete) yang membertakan kalangan pelajar dan mahasiswa yang dikenai
aturan lebih dari yang ditetapkan Menteri Perhubungan sebesar Rp. 100. Namun
sayangnya, aparat keamanan bersikap berlebihan dan represif dalam menghadapi
pengunjuk rasa tersebut sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban
jiwa di pihak mahasiswa dengan cara menyerbu kampus UMI dan menembak dengan
peluru tajam sehingga jatuh korban. Delapan tahun kemudian terulang lagi kasus
pelanggaran HAM di UMI. Kasus ini berawal dari aksi unjuk rasa mahasiswa UMI,
Sabtu (1 Mei 2004 ) sore di Kampus UMI Makasar, berakhir rusuh. Sebanyak 61
orang luka - luka terkena pukulan dan tembakan aparat kepolisian yang dengan
beringas menyerbu masuk ke dalam kampus. Korban umumnya mengalami cedera di
bagian kepala karena pukulan dan sebagian lagi akibat terkena tembakan.
· Ketiga, kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah, 23
Juli 1999. Tengku Bantaqiah adalah seorang tokoh ulama terkemuka di Aceh. Kasus
ini bermula dari informasi adanya sejumlah senjata di salah seorang tokoh Dayah
Bale. Untuk mendalami informasi tersebut pada tanggal 23 Juli 1999, Danrem
menugaskan Kasi Intelnya untuk melaksanakan penyelidikan. Operasi ini ternyata
mengakibatkan pengikut Tengku Bantaqiah ditembaki oleh aparat setempat.
Sebanyak 51 orang termasuk Tengku Bantaqiah tewas. Berdasarkan penyelidikan,
sebanyak 24 anggota TNI dinyatakan sebagai tersangka, termasuk di dalamnya
Letkol Inf Sudjono. Hilangnya Letkol Inf Sudjono (Kasi Intel Korem
O11/Lilawangsa) tentu saja membuat penyelesaian kasus ini menjadi terhambat,
karena motivasi pembantaian itu menjadi kabur. Apakah pembantaian itu merupakan
kebijakan yang diambil dalam satu kerangka kebijakan mengatasi masalah Aceh
ataukah semata-mata karena tindakan yang diambil atas pertimbangan kondisi
lapangan.
Beberapa pelanggaran HAM
yang lain yang sedang dituntut oleh masyarakat,untuk diselesaikan melalui
Pengadilan HAM antara lain Kasus Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan 4
mahasiswa. Kemudian Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timor Timur yang dintandai
dengan praktek bumi hangus, pembunuhan massal di Gereja Suai, pembunuhan di Los
Palos, Maliana, Liquisa dan Dili. Kasus Pasca Jejak Pendapat di Timtim telah di
sidangkan lewat Peradilan HAM ad.hoc.
Kasus-kasus HAM di Aceh, Semanggi, Papua, Trisakti, Timor-Timur,
kerusuhan massa dibanyak tempat di Indonesia dan banyak kasus yang belum terungkap
lainnya menuntut keseriusan pemerintah yang akan datang dalam menegakkan hukum
dan HAM. Sebuah solusi ditawarkan berbagai pihak pada era pemerintahan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan menyampaikan alternatif penyelesaian
permasalahan HAM di Indonesia. Solusi yang ditawarkan berupa pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dimuat dalam Rancangan Undang Undang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Solusi ini perlu di tindak-lanjuti
karena terbukti pemerintah tidak memiliki kemampuan dalam melakukan penanganan
terhadap penegakan HAM di Indonesia secara efektif. Usulan terbentuknya KKR
secara formil dimulai dengan dikeluarkannya TAP. MPR No. V/MPR/2000 kemudian
dipertegas dengan Undang Undang Pengadilan HAM yang memuat kewenangan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menangani pelanggaran HAM berat.
[1] Secara
umum, prosentase keluarga miskin berdasarkan hasil Susenas tahun 2005 tercatat
sebanyak 39,12%, Suara Pembaharuan 22/9/05;
Hasil akhir Susenas sendiri baru akan dipublikasikan sekitar bulan Mei tahun
2006
[2] Tim
Kewaspadaan Pangan dan Gizi Pusat, 2005, “Situasi Pangan dan Gizi Indonesia”.
Jakarta.
[3] Sebagai
contoh proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi yang air bersih di wilayah
Indonesia Timur lebih buruk di banding Jawa dan Sumatera. Hampir separuh (40%)
rumah tangga di wilayah ini tidak memiliki sanitasi yang memadai, Depkes RI,
2004, Analisis Gizi dan kesehatan Masyarakat, hal 25-27
[4] Berdasarkan
data BPS tahun 2001, prosentase kegiatan ekonomi di bidang pertanian mencapai
62,17% dari total aktivitas ekonomi. Daerah ini semula mengandalkan pada
komoditas unggulan seperti apel dan cendana. Namun kedua jenis komoditas
pertanian tersebut mulai menghilang dari kabupaten ini semenjak tahun 80-an, Kompas,
2001, Profil daerah kabupaten dan kota jilid
I, hal 357-361.
[5] Berdasarkan
data tahun 2001,dari 201 milyar total APBD, 180 milyar diantara merupakan dana
DAU yang dikucurkkan dari pusat, sementara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, di
NTT,
[6] Menteri
Kesehatan RI, bahan Sarasehan dengan wartawan tentang perkembangan
penanggulangan gizi buruk di Indonesia sampai dengan November tahun 2005.
[7] Dana
dekonsentrasi perbaikan gizi masyarakat untuk
wilayah NTB di tahun 2005 adalah sebesar 2,03 milyar, menjadi sekitar 22,5
milyar di tahun 2006. Wilayah NTT juga memperoleh tingkat kenaikan anggaran
dekonsentrasi yang serupa. Bantuan ini masih diikuti bantuan lain dari Menko
kesra sebesar 7 milyar untuk wilayah NTB dan 51 milyar untuk wilayah NTT.